Bolmong – Haji Halaman Podu Mokodongan, lahir di Bilalang 22 April 1950 silam, merupakan tokoh masyarakat Desa Tuduaog, Kecamatan Bilalang, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara (Sulut).
Alaman sapaan akrab Halaman Podu Mokodongan semasa muda, tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan desa Tuduaog. Sebuah desa kecil berjarak 20 kilo meter dari Kota Kotamobagu, yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Bilalang pada bulan Mei 1964 silam.
Alaman merupakan Sangadi (Kepala Desa) definitif pertama di desa Tuduaog yang dipilih secara langsung melalui pemilihan kepala desa (Pilkades) pada tahun 1986. Sebelumnya Tuduaog masih dipimpin pejabat sementara Sangadi yang mengalami beberapa kali pergantian.
Memimpin desa Tuduaog selama dua periode yakni tahun 1986 hingga 1994, banyak hal dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa yang pada waktu itu masih tertinggal, bahkan belum ada jaringan listrik dan akses jalan dari desa Bilalang masih berbatu.
Selain itu, Telaga Desa yang dibuat pada masa pejabat Sangadi Hamid Mokoginta tahun 1968. Oleh Mokodongan dijadikan sebagai salah satu sumber kehidupan bagi penduduk desa dengan mengajukan bantuan bibit ikan kepada pemerintah daerah.
“Bupati Bolmong Drs H Syamsudin Paputungan dan Drs Muda Mokoginta saat masih memerintah, setiap tahun memberikan bantuan puluhan ribu ekor bibit ikan mas untuk telaga desa Tuduaog,” tutur Mokodongan.
Lanjutnya, iklan-ikan di telaga tersebut selain ditangkap warga untuk keperluan sehari-hari, dirinya dua kali melakukan panen raya ikan bersama warga, panen raya dilakukan dengan mengeringkan telaga seluas 13 hektar ini.
“Saat panen raya semua warga desa berkumpul menangkap ikan bersama-sama. Acara ini juga dihadiri Bupati Bolmong dan Camat Passi,” kisah Tete Erna sapaan Halaman Mokodongan saat ini.
Pada akhir tahun 80-an, terjadi kemarau panjang melanda Bolmong hingga air telaga surut, karena hutan disekitar desa sudah mulai gundul. Melihat hal ini, Mokodongan berjalan selama seminggu mengelilingi kebun warga dan mengajak mereka menanam bibit kemiri.
Karena pada waktu itu sebagian besar warga desa berkebun kopi, sedangkan harga kopi lagi anjlok. Mokodongan menjanjikan bagi siapa yang menanam bibit kemiri, maka empat bulan kemudian akan diberi imbalan seber Rp 400 rupiah per pohon kemiri yang ditanam.
“Pada waktu itu sasaran utama penanaman kemiri di area sekitar telaga dan perkebunan warga di sekitar desa. Supaya telaga yang menjadi tumpuan hidup sebagian warga kembali terisi air ” jelasnya.
Untuk menunjang program penghijauan dengan menanam pohon kemiri, Mokodongan membentuk kelompok tani yang diberi nama Kelompok Tani Mamonatow.
Tahun 1992, tim survey dari Kementrian Lingkungan hidup mendatangi desa Tuduaog untuk melihat hasil penghijauan yang dilakukan Mokodongan bersama sejumlah warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Momantow.
Usaha putra pasangan Podu Mokodongan dan Liama Mokodongan menghijaukan desanya tidak sia-sia. Pemerintah pusat memberikan penghargaan Kalpataru untuk kategori penyelamat lingkungan kepada Mokodongan melalui Kelompok Tani Momantow pada peringatan Hari Lingkungan Hidup se Dunia Tahun 2001 di Istana Negara Jakarta.
“Piala Kalpataru diserahkan oleh Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri,” tuturnya.
Walaupun ide awal hanya untuk menyelamatkan telaga desa agar tidak kering. Tapi sekarang desa Tuduaog menjadi penghasil kemiri terbesar di Bolmong Raya. Sudah banyak warga yang mengganti tanaman tahunan mereka dengan pohon kemiri. Sepanjang mata memandang terlihat sebagian besar lahan milik warga berubah menjadi hutan kemiri.
“Saat ini telaga di Tuduaog sudah menjadi danau kecil. Harapan saya kedepannya telaga ini dapat dikembangkan supaya dijadikan sebagai tempat wisata lokal,” harap Mokodongan.
Setelah tidak lagi menjabat Sangadi Tuduaog, semangatnya untuk membangun desa tak surut. Tahun 2001, dirinya mengajukan pembentukan komunitas adat terpencil di perkebunan Kolingangaan.
Pengajuan ini pun tidak sia-sia, setahun kemudian Desa Persiapan Kolingangaan disetujui, bahkan pemerintah pusat membangun 80 rumah sederhana di perkebunan tersebut.
Di desa Kolingangaan, suami almarhun Haminsa Mokodongan ini tercatat dua kali menjabat Sangadi. Pertama sebagai pejabat sementara tahun 2003-2006, kemudian melanjutkan jabatan sebagai Sangadi definitif hasil pemilihan langsung masa bhakti 2006-2015. (Penulis : Deyidi Mokoginta)